Komersialisasi Pendidikan
Oleh: Andi Asfian
LKM PBI (Lembaga Kajian Mahasiswa PBI)
Pendidikan adalah siklus yang tiada
akhir dan menempati peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Pendidikan
merupakan media untuk menjadikan manusia jauh lebih baik daripada sebelumnya dalam hal ini
agar mampu memaksimal potensi diri dalam mengarungi kehidupan. Namun, kadang
kala pendidikan menemukan permasalahan yang sering kali membuat pendidikan itu
sendiri menjadi tidak berkembang khususnya di indonesia. Komersialisasi pendidikan
misalnya, yang terkesan bahwa sekolah hanya untuk orang-orang yang elit dalam
arti bahwa hanya orang yang berduit yang berhak masuk ke sekolah favorit.
Merujuk pada tradisi
tahunan dalam dunia persekolahan; disibukkan dengan penerimaan siswa baru. Dari tahun ke tahun,
rutinitas semacam ini hampir
selalu memunculkan fenomena komersialisasi. Ya, komersialisasi pendidikan yang disertai dengan momentum pendaftaran siswa baru. fenomena semacam ini menyebabkan merebaknya kultur pragmatis ditengah-tengah kehidupan
masyarakat yang makin abai terhadap nilai-nilai kesalehan hidup. Sikap
apresiatif terhadap nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keuletan yang dinilai mulai mengalami proses
kepunahan (extinction).
Ironisnya, masyarakat sudah menganggap fenomena semacam itu sebagai sebuah
kejadian yang wajar sehingga tak terlalu penting untuk dipersoalkan. Hal semacam ini membuat pola pikir masyarakat di indonesia berubah
yang tadinya mempertahan nilai-nilai kebajikan kini berubah menjadi nilai yang
bersifat praktis. Apalagi kalau mendengar anak-anak indonesia yang ingin
bersekolah yang tadinya menanyakan kapasitas berfikir, kepandaian dan lain
sebagainya kini berubah kepada pertanyaan yang menyakan kapasitas doi’(materi).
Sebelum jauh lebih dalam, mari
kita berangkat dari pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945) “mencerdaskan
kehidupan bangsa” dan dikuatkan dalam pasal 31 UUD 1945 bahwa “setiap warga
negara berhak mendapat pendidikan (ayat 1)” dan “setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya (ayat 2), maka
mestinya negaralah yang menanggung biaya pendidikan tersebut. Praktik pungutan
yang seringkali dilakukan oleh pihak sekolah memberatkan orangtua siswa dan bertentangan
dengan UUD ’45; konsep dasar bahwa pendidikan adalah hak publik (public
goods) yang harus dipenuhi oleh Negara, bukan private goods yang
menjadi tanggung jawab pribadi dan untuk memperolehnya bertumpu pada usaha
pribadi belaka.
Merujuk pada UUD 1945, Kita
mungkin menolak lupa dengan program pemerintah yang mewajibkan seluruh anak
indonesia untuk mengemban wajib sekolah sembilan tahun, yang berimplikasi pada
bebas dari berbagai macam biaya apapun. Namun realitanya, pihak sekolah masih
saja menemukan cara agar dapat memperoleh keuntungan melalui program
persekolahan seperti baju seragam yang merekomendasikan pesan di sekolah,
program tryout, biaya gedung dan lain sebagainya. Bukan hanya dalam hal
program persekolahan, sebelum masukpun kita kerap mendengar istilah orang
dalam sampai kepada istilah mahar.
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Transparency International
Indonesia (TII) tahun 2013, terhadap
1000 responden di lima kota besar yakni Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan
Makasar. Kesimpulan dari survey tersebut yakni, empat dari sepuluh masyarakat Indonesia
membayar suap untuk mendapatkan pelayanan publik. Sebanyak
36% responden di Indonesia membayar suap untuk mengakses delapan jenis layanan
publik dasar seperti pajak, catatan sipil, perizinan, polisi, peradilan, pelayanan pertanahan pendidikan. Kegiatan semacam ini
jelas-jelas merugikan masyarakat yang ingin cerdas atau mempunyai peluang lebih
besar dibanding dengan masyarakat yang melakukan praktek suap menyuap, Dengan
kesimpulan bahwa uang diatas segala-Nya.
Melalui kacamata pemerataan diatas sudah jelas bahwa komersialisai
pendidikan sangat merugikan masyarakat terutama bagi orang yang tidak mampu.
Pendidikan menurut UUD 1945 semesetinya mendukung atau setidaknya meringankan
beban masyarakat agar pendidikan di indonesia dapat tersebar secara menyeluruh
tanpa ada hal-hal lain yang membuat nilainya berubah. Lantas bagaimana kita
sebagai masyarakat menyikapi hal yang semacam ini? Apakah kita harus
membudayakan dengan cara melawan dengan materi juga? Dan membiarkan masyarakat
yang berada didalam garis kemiskinan tidak mendapatkan pendidikan yang
selayaknya? Addaruuratu tubihu mahsuurat.
Yaahhh.. Lumayan bagus buuuunn.. Tehnik penulisannya d perbaiki lagi sedikit..
ReplyDeleteMakasih banyak ban masukannya.
ReplyDelete